Operasi Batu Empedu (Serita Nyata).
Istriku sering mengeluh sakit di bagian dada sebelah kanan, tepatnya di dekat ulu hati. Kukira levernya kumat karena pernah menderita penyakit lever paska kena DBD. Untuk mengatasi keraguan aku bawa ke dokter sepesialis penyakit dalam dan setelah dicek darah ternyata hatinya normal kemudian di USG dan hasilnya ternyata di empedu ada batunya kurang lebih 1 cm dan disarankan untuk dioperasi. Aku bingung mengapa di empedu sampai ada batu? dari mana asal usulnya?
Istriku sering mengeluh sakit di bagian dada sebelah kanan, tepatnya di dekat ulu hati. Kukira levernya kumat karena pernah menderita penyakit lever paska kena DBD. Untuk mengatasi keraguan aku bawa ke dokter sepesialis penyakit dalam dan setelah dicek darah ternyata hatinya normal kemudian di USG dan hasilnya ternyata di empedu ada batunya kurang lebih 1 cm dan disarankan untuk dioperasi. Aku bingung mengapa di empedu sampai ada batu? dari mana asal usulnya?
Karena takut operasi akhirnya kuminta obat jalan, obat pengecil batu. Meskipun dokternya bilang bahwa kemungkinan berhasil kecil. Namun tidak ada salahnya dicoba. Sebelum pulang dokternya berpesan agar 10 hari lagi diperiksa ulang namun dengan syarat harus puasa dulu agar hasil USG nya lebih jelas. Setibanya dirumah selain minum obat juga kucoba cara lain (non medis).
Waktu yang disarankan dokter untuk cek pun tiba, dan kuantar lagi dan setibanya disana langsung di USG dan ternyata mengecil dan hampir tidak kelihatan lalu kamipun tenang dan dokter menambah lagi obat jalanya. Saran dokter jangan datang kalau tidak sakit. Samapai beberapa bulan kelihatanya sembuh.
Tetapi istriku kembali mengeluh ditempat yang sama, bahkan sakitnya lebih sakit dari biasanya. Akhirnya kamipun kembali ke dokter dan hasil USG ternyata batu empedunya semakin besar dan dokterpun menyerankan untuk konsultasi dengan dokter bedah di Kalimantan selatan siapa tahu ada cara operasi yang tidak disayat. Karena sekarang bisa menggunakan cara yang lebih cepat sembuh, namun kata dokter alat itu adanya di Surabaya dan Yogjakarta sedangkan di Banjarmasin belum tahu.Kamipun pulang.
Sebulan kemudian rasa sakit kelihatanya semakin mengkhawatirkan, dan obat yang diberikan dokter hanya tahan beberapa jam setelah diminum dan setelah itu kembali sakit. Sepuluh menit setelah makan sakitnya makin menjadi bahkan sampai gemetar sembari mengeluarkan keringat. Jadi serba salah, tida makan lapar dan jika makan semakin sakit.
Tetapi istriku kembali mengeluh ditempat yang sama, bahkan sakitnya lebih sakit dari biasanya. Akhirnya kamipun kembali ke dokter dan hasil USG ternyata batu empedunya semakin besar dan dokterpun menyerankan untuk konsultasi dengan dokter bedah di Kalimantan selatan siapa tahu ada cara operasi yang tidak disayat. Karena sekarang bisa menggunakan cara yang lebih cepat sembuh, namun kata dokter alat itu adanya di Surabaya dan Yogjakarta sedangkan di Banjarmasin belum tahu.Kamipun pulang.
Sebulan kemudian rasa sakit kelihatanya semakin mengkhawatirkan, dan obat yang diberikan dokter hanya tahan beberapa jam setelah diminum dan setelah itu kembali sakit. Sepuluh menit setelah makan sakitnya makin menjadi bahkan sampai gemetar sembari mengeluarkan keringat. Jadi serba salah, tida makan lapar dan jika makan semakin sakit.
Akhirnya kubertanya kepada ahli medis mengenai operasi dan prosedur mgnggunakan BPJS.
Istriku setuju untuk di operasi walau dengan disayat, ketimbang harus ke Jawa tentuna perlu biaya besar dan tidak cukup sekali.
Ku ikuti prosedur BPJS dari membuat rujukan dari Puskesmas Satui terius ke Rumah Sakit Husada di Batulicin (rumah sakit tipe C) kemudian dirujuk ke rumah sakit Anshari Saleh di Banjarmasin (Rumah sakit tipe B). Hasil USG di rumah sakit Ansari Saleh nampak jelas bahwa batu empedu sudah mendekati 1,5 cm tepatnya 14,7 mm. Oleh dokter penyakut dalam dirujuk ke dokter bedah.
Kata dokter bedah memang tidak ada cara lain menghilangkan batu empedu selain di operasi sedangkan di RS Anshari Saleh operasinya manual yaitu dengan cara dibedah, namun di rumah sakit ulin ada alat yang lebih canggih yaitu menggunakan laparascopy, namun tidak tahu apakah BPJS menanggung biayanya atau tidak, namun penyembuhanya lebih cepat dari manual. Mendengar ada alai yang lebih canggih di Banjarmasin akhrinya kami minta dirujuk ke rumah sakit ulin.
Di rumah sakit ulin (rumah sakit tipe A) oleh dokter bedah dintanya apakah siap untuk di operasi? maka kami jawab siap. Lalu dibuatkan berkas-berkas pemeriksaan dari mulai cek darah, rontsen dan cek jantung.
Setelah semua selesai kami disarankan ke dokter penyakit dalam. Dari penyakit dalam kami dirujuk ke dokter Anastesi dan kembali lagi ke Poli bedah. Setelah itu ditentukan jadwalnya. Karena hari itu Jum'at dan jadwalnya hari selasa maka kami pulang dulu dan kembali lagi hari senin.
Senin pagi kami kembali ke Rumah Sakit Ulin dan setelah semuanya selesai kamipun mencari ruangan sendiri sesuai kelasnya yaitu di Kelas I agar tidak ada tambahan biaya. Setelah melihat ruangan di Anggrek Lantai 2 Nomor 15 ternyata ruanganya bagus ada WC dan kamar mandi di dalam, ber AC dan ada telponya hanya TV yang tidak ada. Setelah dianggap cocok lalu kami urus ke BPJS dan selanjutnya kami menginap di rumah sakit.
Jadwal operasi ternyata berubah, bukan hari selasa tetapi hari rabu karena dua hari sebelum operasi harus sudah berada kamar rawat inap. Ya mau bagaimana lagi kami ikuti saja.
Hari pertama hampir tidak di apa-apakan hanya dicek tekanan darah saja.
Hari kedua mulai datang silih berganti dokter anastesi dan dokter bedahnya walau hanya asistesnya saja. Namun tekanan darah istriku malah naik melebihi batas yang ditentukan yaitu harus dibawah 150. Mungkin karena tegang sehingga tekanan darahnya naik padahal biasanya tidak pernah mencapai 130/100. Selasa sore dicek tekanan darahnya dan naik lagi menjadi 160/100.
Kami mulai cemas karena kalau tidak turun bakal nambah hari lagi, lalu kami semua berdo,a. Malam hari datang dokter untuk mencek tekanan darah dan memberi resep obat yang harus dimum pagi jam 06.00 dengan 2 sendok air putih.
Pukul 23.30 ada info dari perawat agar istriku mulai puasa.
Jam 06.00 sesuai saran minum obat penurun tekanan darah dengan dua sendok air putih.
jam 07.00 datang dokter anastesi dan tensi darah, hasilnya 130. (artinyanya bisa di oerasi).
Jam 08.30 dibawa ke ruang operasi, dan kami tidak bisa ikut menyaksikan apa yang terjadi berikutnya.
Hampir jam 12.00 sudah siuman dan dibawa kembali ke ruang rawat inap.
Setelah melihat bekas operasi ternyata Lapascopy operasinya menggunakan tiga lubang, satu lubang untuk kamera dan dua lubang lainya untuk tangan kiri dan kanan sehingga tangan dokter tidak menyentuh sama seklai bagian dalam, dan dokter hanya melihanya di monitor untuk menuju sasaran dan mengambilnya.
Jam 19.00 sudah bisa keluar angin dan boleh minum dengan cara diteteskan ke bibir.
keesokan harinya Kamis 25 Mei 2016 sudah boleh minum satu sendok dua sendok.
Sore hari sudah boleh minum lebih banyak dan makan bubur.
Hari Jum,at pagi dokter datang dan pasien sudah boleh bangun dan minum. Tengah hari impus dilepas dan sudah boleh jalan-jalan, bahkan besok kalau memungkinkan sudah bisa pulang.
Sabtu, 26 Mei 2016 dokter memeriksa dan sudah boleh pulang. Administrasi diselesaikan dan karena memakai BPJS maka tidak ada biaya sepeserpun( terimakasih BPJS), seandainya tidak pakai BPJS maka biaya diperkirakan 35 s.d 40 Juta rupiah. Dan setelah semua selesai kamipun pulang dengan di bekali obat yang diminum, dengan catatan tanggal 6 Juni harus periksa lagi.
Selasa 7 Juni 2016 ke rumah sakit lagi untuk menemui dokter yang mengoperasi. Agar tidak antri lama dan bisa memilih dokter maka kami tidak memakai BPJS tetapi langsung ke poli VIV di Lantai 5. Oleh dokter perban dilepasnya jadi g pakai perban lagi karena lukanya sudah pulih, bahkan obat tidak diberi lagi. Tetapi yang namanya luka pasti perlu waktu untuk penyembuhanya. Cerita berikutnya ikuti saja. sampai disini dulu semoga ada manfaatnya. Amin.
Hari pertama hampir tidak di apa-apakan hanya dicek tekanan darah saja.
Hari kedua mulai datang silih berganti dokter anastesi dan dokter bedahnya walau hanya asistesnya saja. Namun tekanan darah istriku malah naik melebihi batas yang ditentukan yaitu harus dibawah 150. Mungkin karena tegang sehingga tekanan darahnya naik padahal biasanya tidak pernah mencapai 130/100. Selasa sore dicek tekanan darahnya dan naik lagi menjadi 160/100.
Kami mulai cemas karena kalau tidak turun bakal nambah hari lagi, lalu kami semua berdo,a. Malam hari datang dokter untuk mencek tekanan darah dan memberi resep obat yang harus dimum pagi jam 06.00 dengan 2 sendok air putih.
Pukul 23.30 ada info dari perawat agar istriku mulai puasa.
Jam 06.00 sesuai saran minum obat penurun tekanan darah dengan dua sendok air putih.
jam 07.00 datang dokter anastesi dan tensi darah, hasilnya 130. (artinyanya bisa di oerasi).
Jam 08.30 dibawa ke ruang operasi, dan kami tidak bisa ikut menyaksikan apa yang terjadi berikutnya.
Hampir jam 12.00 sudah siuman dan dibawa kembali ke ruang rawat inap.
Setelah melihat bekas operasi ternyata Lapascopy operasinya menggunakan tiga lubang, satu lubang untuk kamera dan dua lubang lainya untuk tangan kiri dan kanan sehingga tangan dokter tidak menyentuh sama seklai bagian dalam, dan dokter hanya melihanya di monitor untuk menuju sasaran dan mengambilnya.
Jam 19.00 sudah bisa keluar angin dan boleh minum dengan cara diteteskan ke bibir.
keesokan harinya Kamis 25 Mei 2016 sudah boleh minum satu sendok dua sendok.
Sore hari sudah boleh minum lebih banyak dan makan bubur.
Hari Jum,at pagi dokter datang dan pasien sudah boleh bangun dan minum. Tengah hari impus dilepas dan sudah boleh jalan-jalan, bahkan besok kalau memungkinkan sudah bisa pulang.
Sabtu, 26 Mei 2016 dokter memeriksa dan sudah boleh pulang. Administrasi diselesaikan dan karena memakai BPJS maka tidak ada biaya sepeserpun( terimakasih BPJS), seandainya tidak pakai BPJS maka biaya diperkirakan 35 s.d 40 Juta rupiah. Dan setelah semua selesai kamipun pulang dengan di bekali obat yang diminum, dengan catatan tanggal 6 Juni harus periksa lagi.
Selasa 7 Juni 2016 ke rumah sakit lagi untuk menemui dokter yang mengoperasi. Agar tidak antri lama dan bisa memilih dokter maka kami tidak memakai BPJS tetapi langsung ke poli VIV di Lantai 5. Oleh dokter perban dilepasnya jadi g pakai perban lagi karena lukanya sudah pulih, bahkan obat tidak diberi lagi. Tetapi yang namanya luka pasti perlu waktu untuk penyembuhanya. Cerita berikutnya ikuti saja. sampai disini dulu semoga ada manfaatnya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar