MOS (Masa Orientasi Sekolah) kembali menelan korban
setelah seorang siswa kelas VII SMP Flora Bekasi Propinsi Jawa Barat dinyatakan meninggal yang
diduga karena kecapean setelah mengikuti kegiatan MOS di sekolahnya. Itu tentu sangat memukul dunia
pendidikan di Tanah Air. Padahal, Menteri Pendidikan Nasional sudah
mengantisipasi dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 59389/mpk/pd/tahun
2015 tentang pencegahan praktik perpeloncoan, pelecehan dan kekerasan pada masa
orientasi peserta didik baru di sekolah yang ditujukan kepada Gubernu dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Mendiknas
mengitruksikan kepada Dinas Pendidikan untuk mengawasi praktik perpeloncoan,
pelecehan, dan kekerasan pada awal tahun pelajaran karena tidak sejalan dengan
semangat pendidikan dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 55 tahun 2014 Tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru di
Sekolah baik di sekolah negeri, swasta, kedinasan, maupun keagamaan.
Namun apa mau dikata nasi sudah
menjadi bubur yang tidak diinginkan kini sudah terjadi satu nyawa adalah satu
jiwa bangsa Indonesia yang seharusnya tidak terjadi di lingkungan sekolah dan
kitapun turut berduka atas kepergian Evan Situmorang, nama siswa kelas VII SMP
Flora Bekasi Jawa Barat (liputan 6, 1
Agustus 2015), kalau sudah terjadi lalu siapa yang harus disalahkan?
Sekolah atau pemerintah? Pertanyaan selanjutnya apakah masih perlu diadakan MOS
di sekolah?
Sejak dulu Kita semua pernah
mengikuti kegiatan MOS namun dulu
namanya bukan MOS
walau prakteknya sama saja dengan MOS dan dilaksanakan ketika masuk ke SMA dan Perguruan
Tinggi bukan untuk SMP. Siswa baru pada
umumnya tidak tahu apa-apa tentang sekolah yang ia masuki sehingga ketika
disuruh itu dan ini oleh seniornya pasti nurut-nurut saja karena takut
dikeluarkan dari sekolah jika menentangnya.
Setiap sekolah tidak sama dalam
melaksanakan MOS. Ada
yang biasa-biasa yang diisi dengan kegiatan pengenalan Program sekolah, kegiatan
Pramuka, Tata Tertib Sekolah, Perpustakaan, Laboratorium, Cara belajar,
menyanyikan lagu lagu perjuangan, sholat berjamaah, mengenalkan Kepala Sekolah,
pendidik dan tenaga kependidikan, mengenalkan pengurus OSIS dimana semuanya
dilaksanakan oleh guru dan bukan oleh seniornya. Ada juga MOS yang dilaksanakan
diluar kebiasaan, biasanya selain dari pengenalan lingkungan sekolah ditambah
kegiatan yang dilaksanakan oleh Pengurus OSIS, disinilah akan terjadi
perpeloncoan seperti memakai pakaian ala badut, lari, skot jump, push up,
merangkak, bahkan sampai dengan melewati comberan yang tidak ada hubunganya
dengan pendidikan karena yang menyuruh bukan guru melaikan seniornya anehnya
kepala sekolah dan guru seakan membiarkan hal tersebut terjadi. Padahal kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, dan guru adalah pihak yang
bertanggung jawab sepenuhnya atas penyiapan dan pelaksanaan kegiatan orientasi
peserta didik baru. Kegiatan seperti lari, skot jump, push up seharusnya
dibawah pengawasan guru olahraga dan bukan oleh seniornya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Anies Baswedan sebelum memasuki Tahun pelajaran 2015/2016 gencar melakukan
sosialisasi, instruksi sampai ancaman lewat media baik cetak maupun elektronik
agar kegiatan perpeloncoan pada MOS di Tahun 2015 tidak terjadi dan barangkali
instruksi itu sudah dilaksanakan oleh sebagian besar sekolah di Indonesia,
walau mungkin masih ada di beberapa sekolah yang masih melaksanakan cara lama
dalam melaksanakan MOS.
Wajar jika beliau Menteri Anies Baswedan geram mendengar berita meninggalnya
seorang siswa SMP kelas VII setelah mengikuti kegiatan MOS.
Agar tidak terjadi MOS yang
berakibat patal dan tidak terulang pada MOS tahun berikutnya sebaiknya Pemerintah
lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuat “buku panduan” untuk
pelaksanaan MOS di tinggkat SMP, SMA
agar pelaksanaannya se-Indonesia “sama“. Buku tersebut harus sudah
sampai 6 bulan sebelum pelaksanaan. Mengeluarkan Peraturan seperti Peraturan
Menteri Pendidikan No 55 Tahun 2014 tanggal 2 Juli 2014 dirasa sangat terlambat
apalagi hanya dimuat di Web kemdikbud, sementara jaringan internet di Indonesia
kecepatan tidak sama.
MOS jika kiranya masih perlu
dilaksanakan, sebaiknya tidak melibatkan seniornya tetapi semua guru saja.
Pelaksanaan tidak perlu memakan waktu berhari-hari karena untuk memperkenalkan program-program
di sekolah tidak perlu waktu lama. Kita jangan memaksa siswa yang baru masuk
sehari akan tahu semuanya. Setiap kelas ada wali kelasnya. Jadi, alangkah lebih
bijak cukup wali kelas yang akan memperkenalkan hal-hal lain yang belum mereka
ketahui tentang sekolah dan kegiatan di sekolah. Dengan begitu, aksi kekerasan,
perpeloncoan dan balas dendam tidak akan terjadi antara senior dan juniornya.
Agar terjadi hubungan baik penuh persaudaraan antara senior dan junior lebih
baik mengadakan pentas seni, paskibra, baca puisi, olah raga dan kebolehan
lainya dengan cara seniornya menunjukan kebolehan mereka masing-masing dan
biarkan siswa baru menonton dan setelah pentas, senior bersalaman dengan siswa
baru dengan penuh persaudaraan. Terkait cara memperkenalkan semua pendidik dan
tenaga kependidikan dengan siswa baru cukup dilakukan melalui apel dilapangan
terbuka. Kepala sekolah memperkenalkan satu persatu nama pendidik dan tenaga kependidikan, setelah itu
bersalaman.
Stop Perpeloncoan pada MOS, kalaupun masih
ada, jangan sampai terdengar lagi berita seperti meninggalnya siswa di SMP
Flora Bekasi. Satu nyawa buat bangsa ini adalah satu jiwa, jadi jangan bekali anak didik kita dengan dendam
dan kekerasan karena fungsi Pendidikan Nasional seperti disebutkan dalam
Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Bukan tanpa alasan Ki Hadjar Dewantoro menggunakan
istilah “Taman” sebagai konsep pendidikanya. Taman berarti tempat bermain.
Teduh, tenang, dan tentunya menyenangkan. Anak-anak senatiasa gembira berada di
taman. Mereka dengan senang hati menghabiskan waktu di taman. Ki Hadjar ingin
konsep pendidikan seperti sebuah taman, pendidikan haruslah menyenangkan,
belajar adalah proses kegembiraan. Ketika bel sekolah berbunyi semestinya
sebuah kegembiraan dimulai dan ketika bel pulang berbunyi anak-anak enggan untuk
pulang.
(Artikel ini dimuat di Harian Banjarmasin Post Selasa 4 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar